Hadits Riwayat Muslim

Dari Abu Hurairah, ada seorang yang bertanya, “Ya, rasulullah siapakah orang yang paling berhak kuperlakukan dengan baik?” Nabi bersabda, “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, kemudian bapakmu, kemudian kerabat yang dekat dan yang dekat” (HR Muslim no 6665).

Rasulullah saw bersabda : Balighu 'anni Walau Ayah. Sampaikanlah dari ku walaupun satu ayat. (HR Bukhari)

Sabtu, 10 Desember 2011

Selemah Lemah Iman

Jikalau terlintas sesuatu hal yang mengundang murka Allah, apakah lantas kita diamkan? AYo bergerak!

Ada sebuah hadits yang sangat masyhur terkait dengan kewajiban nahi munkar. Hadits tersebut shahih dan diriwayatkan oleh Imam Muslim. Imam Nawawi pun memasukkannya sebagai salah satu dari 40 hadits dalam Arba’in beliau. Berbagai artikel dan dalam banyak bahasan selalu hadits ini diartikan nyaris sama.

Hadits dimaksud adalah seperti di bawah ini:

عَنْ أَبِي سَعِيْد الْخُدْرِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ – رواه مسلم

Abu Sa’id Al-Khudri r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah shollallôhu ‘alaihi wasallam bersabda: ”Barang siapa diantaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya. Dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.” ~ H.R. Muslim

Dari hadits ini, yang dimaksud dengan selemah-lemah iman adalah mereka yang hanya mampu menggunakan hatinya (dengan berdoa) ketika mengetahui sebuah kemungkaran di depan matanya.

Namun, pada halaqah rutin dengan ust. Arif Wibowo Sabtu malam kemarin, saya menangkap pengertian yang sedikit berbeda terhadap hadits itu. Mengutip pendapat Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki al-Hasani, ust. Arif menyampaikan bahwa kalau matan (isi redaksional) hadits itu pengertiannya seperti ini:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَان، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

Barang siapa diantaramu melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tak sanggup, maka dengan lidahnya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman. Dan jika tak sanggup juga, maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemah iman.

Kita lihat bahwa yang dimaksud dengan “selemah-lemah iman” bukan hanya orang-orang yang hanya bisa berdoa ketika menjumpai kemungkaran, sebagaimana kita pahami selama ini. Tetapi, mereka yang sebenarnya bisa mengubah kemungkaran dengan (kekuasaan di dalam genggaman) tangannya, tetapi tidak dia lakukan kecuali hanya (menasihati) dengan lisannya, maka dia termasuk selemah-lemah iman. Demikian juga jika ia sebenarnya mampu mengubahnya dengan lisannya, tetapi tidak dia lakukan kecuali hanya berdoa saja, maka dia termasuk selemah-lemah iman.

Sebaliknya, jika seorang yang tidak memiliki kekuasaan apapun dan tidak pula memiliki kemampuan berbicara untuk mencegah kemungkaran itu (ekstremnya dia rakyat jelata yang cacat dan bisu misalnya), tetapi hatinya masih mau menjerit dalam lantunan doa untuk melawan kemungkaran itu, dia ini justru tidak termasuk selemah-lemah iman. Meski hanya dengan berdoa, tetapi doa itu adalah sebenar-benar kemampuan maksimal yang memang mampu dia lakukan.

Pengertian hadits ini semakin meneguhkan saja kenyataan bahwa Islam selalu menekankan untuk berusaha semaksimal atau sesempurna mungkin dalam melakukan sesuatu. Sampai mentok batas kemampuan kita. Tidaklah termasuk maksimal jika kita hanya menyumbang 1.000 rupiah, padahal mampu 10.000 rupiah. Tidaklah termasuk maksimal jika kita kaum lelaki sholat di rumah, padahal rumah dekat masjid.

Tuntutan maksimal itu juga tersirat dari sebuah hadits riwayat Abu Dawud dari Abdullah bin Umi Maktum dimana dia meminta keringanan berjamaah ke masjid kepada Nabi shollallôhu ‘alaihi wasallam dengan berkata, “Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang buta dan jauh rumahnya. Sedangkan aku memiliki penuntun yang tidak selalu bersamaku. Apakah aku shalat di rumahku?” Rasulullah shollallôhu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah engkau mendengar adzan?” Ia menjawab, “Ya.” Maka beliau shollallôhu ‘alaihi wasallam bersabda, “Kalau begitu aku tidak mendapatkan rukhshah untukmu.” (H.R. Abu Dawud)

Sudah rumah jauh dari masjid, buta lagi. Tetapi tuntutan untuk berjamaah ke masjid tetap berlaku karena dia mendengar adzan. Dalam riwayat lain, Abdullah bin Umi Maktum juga memberikan alasan tentang banyaknya binatang buas di jalan dan juga sulitnya perjalanan dari rumahnya ke masjid karena melewati kebun kurma dan semak belukar (padahal dia buta dan tak punya penuntun). Tetapi jawaban Rasulullah shollallôhu ‘alaihi wasallam tetap. “Apakah engkau mendengar hayya ‘alash sholâh, hayya ‘alal falâh? Kalau ya, maka segeralah engkau penuhi panggilan itu!”

Hadits tersebut memang berbicara soal pentingnya shalat berjamaah ke masjid. Tetapi tersirat di dalamnya bahwa penunaian shalat berjamaah itu menuntut upaya maksimal: bahkan yang buta, rumah jauh, hadangan binatang buas, kebun, dan semak belukar tetap diminta Nabi datang ke masjid.

Kiranya hadits tentang nahi munkar di atas inilah yang karena tidak maksimal pelaksanaannya, maka bentuk-bentuk kezhaliman dan kemungkaran semakin bertebaran di sekitar kita. Seringkali kita malah berpikiran, toh itu bukanlah urusan kita, tetapi urusan pemerintah atau pemimpin masyarakat. Kadang kalau kita ikut cawe-cawe malah justru mengancam keselamatan kita. Walhasil, yang memiliki kekuasaan memilih menasihati atau berdoa saja. Yang bisa menasihati memilih berdoa saja. Dan semua orang mestinya mampu berdoa — karena berdoa tidak bermodal apa-apa. Tetapi kiranya semua orang yang mampu berdoa pun sebagian kecil saja dari mereka yang secara sukarela mau melakukannya.

Jadilah kita, jangan-jangan semuanya, seluruhnya, jatuh ke dalam kategori “selemah-lemah iman” itu. Na’ûdzu billâhi min dzâlik!

2 komentar:

  1. Kalau yang berbuat sudah diberitahu berulang kali, tapi malah diulangi lagi kesalahan tersebut bagaimana seharusnya yang dilakukan?

    BalasHapus
  2. Selemah-lemahnya iman di situ maksudnya tidak kembali kepada "doa". Justru doa adalah sekuat-kuatnya iman. karena di dalam doa tercakup pengakuan kepada 3 tauhid sekaligus: Rububiyah Uluhiyyah dan Asma wa Shifat Allah s.w.t.
    Hadits tersebut maksudnya adalah selemah-lemahnya sikap pengingkaran terhadap kemungkaran, selemah-lemahnya cara mengingkari kemungkaran, yakni mengingkarinya dengan hati, setelah tak mampu mengingkarinya dengan tangan dan lisan.

    BalasHapus